Nalangsa ati nalika kedah patebih deui
Sareng saung kanyaah anu dikawihan ku tembang kaasih
Ninggalkeun mangrebu kadeudeuh anu matri dina diri
Tapi dakumaha da panginteun kedah kieu cariosna
Wilujeung pateupang deui Pakuan
Wilujeung paanggang galeuhna Galuh
Sore ini kembali seperti semula, terdampar pada hingar bingar sudut kota. Meski memang Bogor tidaklah sesemrawut Jakarta. Tapi tetap bukanlah tempat yang nyaman untuk menyejukan hati dan pikiran. Jika kita tidak pernah menyempatkan diri pada mushola dan masjid yang bertebaran. Karena biasanya hanya di tempat itulah kita bisa merebahkan diri pada kenikmatan peghambaan. Meresapi semilir “angin surga” yang mampu menyejukkan dahaganya jiwa.
Empat hari kemaren tubuh yang lusuh ini kembali menjadi bugar. Akibat kesegaran udara yang nyaris tanpa polusi karena memang jauh dari pabrik dan kendaraan motor pun tidaklah terlalu ramai seperti di jalan raya ini. Tak hanya bermanja dengan keluarga, tapi juga dengan rumah yang meskipun amat sederhana namun tetap tertata apik dan tidak sumpek. Halaman luas (maklum di kampung) yang berhias aneka warna bunga serta warung hidup yang menyajikan berbagai macam kebutuhan dapur sang ibunda. Dan hampir sekelilingnya hijau oleh pepohonan yang meski memang tidak sedang berbuah. Serta kolam ikan yang waktu kecil dulu sering dipakai berenang cukup mampu untuk mengusir kejenuhan.
Empat hari itu aku kembali menjadi anak-anak. Ya memang sebesar apa pun aku tetap aja di mata Ibu adalah seorang anak. Anak yang lucu dan penurut. Anak yang harus menjadi kebanggaan orang tua. Dan aku adalah anak pertama yang harus menjadi teladan. Meski ini adalah sebuah peran yang tidaklah mudah tapi aku harus berusaha tuk menjadi yang terbaik di mata mereka. Insyaallah.
Tinggalkan Balasan